LAPORAN
PENDAHULUAN
STROKE
1.
Pengertian
Stroke atau cedera cerebrovaskular accident (CVA) adalah kehilangan fungsi
otak yang diakibatkan oleh berhentinya suplai darah ke bagian otak (Smeltzer
& Bare, 2002). Stroke adalah sindrom klinis yang awal timbulnya mendadak,
progesi cepat, berupa defisit neurologis fokal dan atau global, yang
berlangsung 24 jam atau lebih atau langsung menimbulkan kematian, dan semata-mata
disebabkan oleh gangguan peredaran darah otak non traumatik (Mansjoer, 2000).
Menurut Price & Wilson (2006) pengertian dari
stroke adalah setiap gangguan neurologik mendadak yang terjadi akibat
pembatasan atau terhentinya aliran darah melalui sistem suplai arteri otak.
Dari beberapa uraian diatas dapat disimpulkan bahwa pengertian stroke adalah
gangguan sirkulasi serebral yang disebabkan oleh sumbatan atau penyempitan
pembuluh darah oleh karena emboli, trombosis atau perdarahan serebral sehingga
terjadi penurunan aliran darah ke otak yang timbulnya secara mendadak.
2. Klasifikasi Stroke
Klasifikasi
stroke dibedakan menurut patologi dari serangan stroke meliputi:
1.
Stroke Hemoragik
Merupakan perdarahan serebri dan mungkin perdarahan subarakhnoid.
Disebabkan oleh pecahnya pembuluh darah otak pada daerah otak tertentu.
Biasanya kejadiannya saat melakukan aktivitas atau saat aktif, namun bisa juga
terjadi saat istirahat. Kesadaran klien umumnya menurun.
Stroke hemoragik adalah disfungsi neurologis fokal yang akut dan disebabkan
oleh perdarahan primer substansi otak yang terjadi secara spontan bukan oleh
karena trauma kapitis, disebabkan oleh karena pecahnya pembuluh arteri, vena
dan kapiler. Perdarahan otak dibagi dua, yaitu:
a. Perdarahan
Intraserebri (PIS)
Pecahnya pembuluh darah (mikroaneurisma) terutama karena hipertensi
mengakibatkan darah masuk ke dalam jaringan otak, membentuk massa yang menekan
jaringan otak dan menimbulkan edema otak. Peningkatan TIK yang terjadi cepat,
dapat mengakibatkan kematian mendadak karena herniasi otak. Perdarahan serebri
yang disebabkan hipertensi sering dijumpai di daerah putamen, talamus, pons dan
serebellum.
b.
Perdarahan Subarakhnoid (PSA)
Perdarahan ini beradal dari pecahnya aneurisma berry atau AVM. Aneurisma
yang pecah ini berasal dari pembuluh darah sirkulasi Willisi dan
cabang-cabangnya yang terdapat di luar parenkim otak (Juwono, 1993). Pecahnya
arteri dan kelurnya ke ruang subarakhnoid menyebabkan TIK meningkat mendadak,
meregangnya struktur peka nyeri, dan vasospasme pembuluh darah serebri yang
berakibat disfungsi otak global (nyeri kepala, penurunan kesadaran) maupun
fokal (hemiparese, gangguan hemisensorik, afasia dan lainnya).
2.
Stroke Nonhemoragik
Dapat berupa iskemia atau emboli dan trombosis serebri, biasanya terjadi
saat setelah lama beristirahat, baru bangun tidur, atau di pagi hari. Tidak
terjadi perdarahan namun terjadi iskemia yang menimbulkan hipoksia dan
selanjutnya dapat menimbulkan edema sekunder. Kesadaran umumnya baik.
Klasifikasi stroke dibedakan menurut perjalanan penyakit atau stadiumnya:
Klasifikasi stroke dibedakan menurut perjalanan penyakit atau stadiumnya:
1.
TIA. Gangguan neurologis lokal yang terjadi selama beberapa
menit sampai beberapa jam saja. Gejala yang timbul akan hilang dengan spontan
dan sempurna dalam waktu kurang dari 24 jam.
2.
Stroke involusi. Stroke yang terjadi masih terus
berkembang, gangguan neurologis terlihat semakin berat dan bertambah buruk.
Proses dapat berjalan 24 jam atau beberapa hari.
3. Stroke
komplet. Gangguan neurologis yang timbul sudah menetap atau permanen. Sesuai
dengan istilahnya stroke komplet dapat diawali oleh serangan TIA berulang.
3. Etiologi
Menurut Smeltzer & Bare (2002) stroke biasanya
diakibatkan dari salah satu empat kejadian yaitu:
1.
Thrombosis yaitu bekuan darah di dalam pembuluh
darah otak atau leher.
2.
Embolisme serebral yaitu bekuan darah
atau material lain yang di bawa ke otak dari bagian tubuh yang lain.
3.
Iskemia yaitu penurunan aliran darah ke
area otak.
4.
Hemoragi serebral yaitu pecahnya
pembuluh darah serebral dengan perdarahan ke dalam jaringan otak atau ruang
sekitar otak.
Akibat dari keempat kejadian diatas maka terjadi
penghentian suplai darah ke otak, yang menyebabkan kehilangan sementara atau
permanen gerakan, berpikir, memori, bicara, atau sensasi.
Ada beberapa faktor risiko stroke yang sering
teridentifikasi, yaitu:
1. Hipertensi,
dapat disebabkan oleh aterosklerosis atau sebaliknya. Proses ini dapat
menimbulkan pecahnya pembuluh darah atau timbulnya thrombus sehingga dapat
mengganggu aliran darah cerebral.
2. Aneurisma pembuluh darah cerebral
Adanya kelainan pembuluh darah
yakni berupa penebalan pada satu tempat yang diikuti oleh penipisan di tempat
lain. Pada daerah penipisan dengan maneuver tertentu dapat menimbulkan
perdarahan.
3. Kelainan jantung/penyakit jantung
Paling banyak dijumpai pada pasien
post MCI, atrial fibrilasi dan endokarditis. Kerusakan kerja jantung akan
menurunkan kardiak output dan menurunkan aliran darah ke otak. Disamping itu
dapat terjadi proses embolisasi yang bersumber pada kelainan jantung dan pembuluh
darah.
4.
Diabetes
mellitus (DM)
Penderita DM berpotensi mengalami
stroke karena 2 alasan, yaitu terjadinya peningkatan viskositas darah sehingga
memperlambat aliran darah khususnya serebral dan adanya kelainan microvaskuler
sehingga berdampak juga terhadap kelainan yang terjadi pada pembuluh darah
serebral.
5.
Usia lanjut
Pada usia lanjut terjadi proses
kalsifikasi pembuluh darah, termasuk pembuluh darah otak.
6. Policitemia
Pada policitemia viskositas darah
meningkat dan aliran darah menjadi lambat sehingga perfusi otak menurun.
7.
Peningkatan
kolesterol (lipid total)
Kolesterol tubuh yang tinggi dapat
menyebabkan aterosklerosis dan terbentuknya embolus dari lemak.
8. Obesitas
Pada obesitas dapat terjadi
hipertensi dan peningkatan kadar kolesterol sehingga dapat mengakibatkan
gangguan pada pembuluh darah, salah satunya pembuluh drah otak.
9. Perokok
Pada perokok akan timbul plaque
pada pembuluh darah oleh nikotin sehingga terjadi aterosklerosis.
10. Kurang aktivitas fisik
Kurang aktivitas fisik dapat juga
mengurangi kelenturan fisik termasuk kelenturan pembuluh darah (embuluh darah
menjadi kaku), salah satunya pembuluh darah otak.
Faktor resiko terjadinya stroke menurut
Mansjoer (2000) adalah:
1. Faktor
resiko yang tidak dapat diubah: usia, jenis kelamin, ras, riwayat keluarga,
riwayat stroke, penyakit jantung koroner, dan fibrilasi atrium.
2. Faktor
resiko yang dapat diubah: hipertensi, diabetes mellitus, merokok,
penyalahgunaan alkohol dan obat, kontrasepsi oral dan hematokrit meningkat.
4. Patofisiologi
a. Stroke non hemoragik
Infark serebri adalah berkurangnya suplai darah ke area tertentu di otak.
Luasnya infark bergantung pada faktor-faktor seperti lokasi dan besarnya
pembuluh darah dan adekuatnya sirkulasi kolateral terhadap area yang disuplai
oleh pembuluh darah yang tersumbat.
Suplai darah ke otak dapat berubah (makin lambat atau cepat) pada gangguan
lokal (trombosis, emboli, perdarahan dan spasme vaskular) atau karena gangguan
umum (hipoksia karena gangguan paru dan jantung). Aterosklerosis sering kali
merupakan faktor penting untuk otak, trombus dapat berasal dari plak aterosklerosis,
atau darah dapat membeku pada area yang stenosis, tempat aliran darah akan
lambat atau terjadi turbulensi. Trombus dapat pecah dari dinding pembuluh darah
dan terbawa sebagai emboli dalam aliran darah. Trombus mengakibatkan:
1.
Iskemia jaringan otak pada area yang disuplai oleh pembuluh
darah yang bersangkutan.
2.
Edema dan kongesti di sekitar area
Area edema ini menyebabkan disfungsi yang lebih besar
dari area infark itu sendiri. Edema dapat berkurang dalam beberapa jam atau
kadang-kadang sesudah beberapa hari. Dengan berkurangnya edema klien mulai
menunjukkan perbaikan.
Karena trombosis biasanya tidak fatal, jika tidak terjadi perdarahan masif.
Oklusi pada pembuluh darah serebri oleh embolus menyebabkan edema dan nekrosis
diikuti trombosis. Jika terjadi infeksi sepsis akan meluas pada dinding
pembuluh darah, maka akan terjadi abses atau ensefalitis, atau jika sisa
infeksi berada pada pembuluh darah yang tersumbat menyebabkan dilatasi
aneurisma pembuluh darah. Hal ini menyebabkan perdarahan serebri, jika
aneurisma pecah atau ruptur.
b. Stroke hemoragik
Pecahnya arteri dan keluarnya darah ke ruang arakhnoid mengakibatkan
terjadinya peningkatan TIK yang mendadak, meregangnya struktur nyeri, sehingga
timbul nyeri kepala hebat. Sering pula dijumpai kaku kuduk dan tanda-tanda
rangsangan selaput otak lainnya. Peningkatan TIK yang mendadak juga
mengakibatkan perdarahan subhialoid pada retina dan penurunan kesadaran.
Perdarahan subarakhnoid dapat mengakibatkan vasospasme pembuluh darah serebri.
Vasospasme ini sering kali terjadi 3-5 hari setelah timbulnya perdarahan,
mencapai puncaknya hari ke-5 sampai dengan ke-9 dan dapat menghilang setelah
minggu ke-2 sampai minggu ke-5.
Timbulnya vasospasme diduga karena interaksi antara bahan-bahan yang
berasal dari darah dan dilepaskan ke dalam cairan serebrospinal dengan pembuluh
arteri di ruang arakhnoid. Vasospasme ini dapat mengakibatkan disfungsi otak
global (nyeri kepala, penurunan kesadaran) maupun fokal (hemiparese, gangguan
hemisensorik, afasia, dan lainnya).
Otak dapat berfungsi bila kebutuhan O2 dan glukosa otak dapat
terpenuhi. Energi yang dihasilkan di dalam sel saraf hampir seluruhnya melalui
proses oksidasi. Otak tidak mempunyai cadangan O2 sehingga jika ada
kerusakan atau kekurangan aliran darah otak walau sebentar akan menyebabkan
gangguan fungsi. Demikian pula dengan kebutuhan glukosa sebagai bahan bakar
metabolisme otak, tidak boleh kurang dari 20 mg% karena akan menimbulkan koma.
Kebutuhan glukosa sebanyak 25% dari seluruh kebutuhan glukosa tubuh, sehingga
bila kadar glukosa plasma akan turun sampai 70% akan terjadi gejala disfungsi
serebri. Pada saat otak hipoksia, tubuh berusaha memenuhi O2 melalui
proses metabolik anaerob, yang dapat menyebabkan dilataasi pembuluh darah otak.
5. Tanda dan Gejala
Perbedaan antara Stroke
Nonhemoragik dengan Stroke Hemoragik
Gejala
(Anamnesa)
|
Stroke
Nonhemoragik
|
Stroke
Hemoragik
|
Awitan
(onset)
|
Sub-akut
kurang
|
Sangat
akut/mendadak
|
Waktu
(saat terjadi awitan)
|
Mendadak
|
Saat
aktivitas
|
Peringatan
|
Bangun
pagi/istirahat
|
-
|
Nyeri
kepala
|
+
50% TIA
|
+++
|
Kejang
|
+/-
|
+
|
Muntah
|
-
|
+
|
Kesadaran
menurun
|
-, kadang
sedikit
|
+++
|
Koma.
Kesadaran menurun
|
+/-
|
+++
|
Kaku kuduk
|
-
|
++
|
Tanda
kernig
|
-
|
+
|
Edema
pupil
|
-
|
+
|
Perdarahan
retina
|
-
|
+
|
bradikardia
|
Hari ke-4
|
Sejak awal
|
Penyakit
lain
|
Tanda
adanya aterosklerosis di retina, koroner, perifer. Emboli pada kelainan
katub, fibrilasi, bising karotis
|
Hampir
selalu hipertensi, aterosklerosis, penyakit jantung hemolisis (HHD)
|
Pemeriksaan
darah pada LP
|
-
|
+
|
Rontgen
|
-
|
Kemungkinan
pergeseran glandula pineal
|
Angiografi
|
Oklusi,stenosis
|
Aneurisma,
AVM, massa intrahemister.vasospasme
|
CT scan
|
Densitas
berkurang (lesi hipodensi)
|
Massa
intrakranial densitas bertambah (lesi hiperdensi)
|
Oftalmoskop
|
Fenomena
silang, Silver wire art
|
Perdarahan
retina atau korpus vitreum
|
Lumbal fungsi
1. Tekanan
2. Warna
3. Eritrosit
|
1. Normal
2.
Jernih
3.
< 250/mm3
|
1. Meningkat
2. Merah
3. >1000/mm3
|
Arteriografi
|
Oklusi
|
Ada
pergeseran
|
EEG
|
Di tengah
|
Bergeser
dari bagian tengah
|
Tanda dan gejala yang muncul sangat tergantung
pada daerah dan luasnya daerah otak yang terkena.
1. Pengaruh
terhadap status mental
a.
Tidak sadar : 30% – 40%
b. Konfuse :
45% dari pasien biasanya sadar
1)
Daerah arteri serebri media, arteri karotis interna
akan menimbulkan:
a.
Hemiplegia kontralateral yang disertai hemianesthesia
(30%-80%)
b.
Afasia bila mengenai hemisfer dominant (35%-50%)
c.
Apraksia bila mengenai hemisfer non dominant (30%)
2)
Daerah arteri serebri anterior akan menimbulkan gejala:
a.
Hemiplegia dan Hemianesthesia Kontralateral Terutama
Tungkai (30%-80%).
b.
Inkontinensia urin, afasia, atau apraksia tergantung
hemisfer mana yang terkena.
3)
Daerah arteri serebri posterior
a.
Nyeri spontan pada kepala
b.
Afasia bila mengenai hemisfer dominant (35-50%)
4)
Daerah vertebra basiler akan menimbulkan:
a.
Sering fatal karena mengenai pusat-pusat vital di
batang otak
b.
Hemiplegia alternans atau tetraplegia
c.
Kelumpuhan pseudobulbar (kelumpuhan otot mata,
kesulitan menelan, emosi labil).
Apabila dilihat bagian hemisfer mana yang terkena, gejala dapat berupa:
1. Stroke hemisfer kanan
a.
Hemiparese sebelah kiri tubuh
b.
Penilaian buruk
c.
Mempunyai kerentanan terhadap sisi kontralateral
sebagai kemungkinan terjatuh ke sisi yang berlawanan.
2. Stroke hemisfer kiri
a.
Mengalami hemiparese kanan
b.
Perilaku lambat dan sangat berhati-hati
c.
Kelainan bidang pandang sebelah kanan
d.
Disfagia global
e.
Afasia
f.
Mudah frustasi
Menurut Smeltzer & Bare (2002) dan Price & Wilson (2006) tanda dan
gejala penyakit stroke adalah kelemahan atau kelumpuhan lengan atau tungkai
atau salah satu sisi tubuh, hilangnya sebagian penglihatan atau pendengaran,
penglihatan ganda atau kesulitan melihat pada satu atau kedua mata, pusing dan
pingsan, nyeri kepala mendadak tanpa kausa yang jelas, bicara tidak jelas (pelo),
sulit memikirkan atau mengucapkan kata-kata yang tepat, tidak mampu mengenali
bagian dari tubuh, ketidakseimbangan dan terjatuh dan hilangnya pengendalian
terhadap kandung kemih.
Gambaran perbedaan perdarahan
Intraserebral dan Subarachnoid
Gejala
|
PIS
|
PSA
|
Timbulnya
|
Dalam 1
jam
|
1-2 menit
|
Nyeri
kepala
|
Hebat
|
Sangat
hebat
|
Kejang
|
Umum
|
Sering
fokal
|
Kesadaran
|
Menurun
|
Menurun
|
Tanda
rangsangan meningen
|
+/-
|
Sementara
|
Hemiparese
|
++
|
+++
|
Gangguan
saraf otak
|
+
|
+/-
|
6. Prognosis
Banyak penderita yang mengalami kesembuhan dan
kembali menjalankan fungsi normalnya. Penderita lainnya mengalami kelumpuhan
fisik dan menatal dan tidak mampu bergerak, berbicara atau makan secara normal.
Sekitar 50% penderita yang mengalami kelumpuhan separuh badan dan gejala berat
lainnya, bisa kembali memenuhi kebutuhan dasarnya sendiri. Mereka bisa berfikir
dengan jernih dan berjalan dengan baik, meskipun penggunaan lengan atau tungkai
yang terkena agak terbatas.
Sekitar 20% penderita meninggal di rumah sakit, yang
berbahaya adalah stroke yang disertai dengan penurunan kesadaran dan gangguan
pernafasan atau gangguan fungsi jantung. Kelainan neurologis yang menetap
setelah 6 bulan cenderung akan terus menetap, meskipun beberapa mengalami
perbaikan.
7. Penatalaksanaan Medis
Secara umum,
penatalaksanaan pada pasien stroke adalah:
- Posisi
kepala dan badan atas 20-30 derajat, posisi miring jika muntah dan boleh
dimulai mobilisasi bertahap jika hemodinamika stabil.
- Bebaskan jalan nafas dan pertahankan ventilasi yang
adekuat, bila perlu diberikan oksigen sesuai kebutuhan.
- Tanda-tanda vital diusahakan stabil.
- Bedrest.
- Koreksi adanya hiperglikemia atau hipoglikemia.
- Pertahankan keseimbangan cairan dan elektrolit.
- Kandung kemih yang penuh dikosongkan, bila perlu
lakukan kateterisasi.
- Pemberian cairan intravena berupa kristaloid atau
koloid dan hindari penggunaan glukosa murni atau cairan hipotonik.
- Hindari kenaikan suhu, batuk, konstipasi, atau
suction berlebih yang dapat meningkatkan TIK.
- Nutrisi per oral hanya diberikan jika fungsi
menelan baik. Jika kesadaran menurun atau ada gangguan menelan sebaiknya
dipasang NGT.
- Penatalaksanaan spesifik berupa:
a.
Stroke non hemoragik: asetosal, neuroprotektor,
trombolisis, antikoagulan, obat hemoragik.
b.
Stroke hemoragik: mengobati penyebabnya, neuroprotektor,
menurunkan TIK yang tinggi, tindakan pembedahan yang bertujuan utama adalah
memperbaiki aliran darah serebri dengan:
a)
Endosterektomi karotis membentuk kembali arteri
karotis, yaitu dengan membuka arteri karotis di leher.
b)
Revaskularisasi terutama merupakan tindakan pembedahan
dan manfaatnya paling dirasakan oleh klien TIA.
c)
Evaluasi bekuan darah dilakukan pada stroke akut.
d)
Ligasi arteri karotis komunis di leher khususnya pada
aneurisma.
Penatalaksaan medis menurut menurut Smeltzer & Bare (2002) meliputi:
1. Diuretik
untuk menurunkan edema serebral yang mencapai tingkat maksimum 3 sampai 5 hari
setelah infark serebral.
2. Antikoagulan
untuk mencegah terjadinya thrombosis atau embolisasi dari tempat lain dalam
sistem kardiovaskuler.
3.
Antitrombosit karena trombosit memainkan peran sangat
penting dalam pembentukan thrombus dan embolisasi.
8. Komplikasi
Setelah mengalami stroke klien mungkin akan mengalami komplikasi,
komplikasi ini dapat dikelompokkan berdasarkan:
- Dalam
hal imobilisasi: infeksi pernapasan, nyeri tekan, konstipasi, dan
tromboflebitis;
- Dalam
hal paralisis: nyeri pada daerah punggung, dislokasi sendi, deformitas,
dan terjatuh;
- Dalam
hal kerusakan otak : epilepsi dan sakit kepala
- Hidrosefalus
Komplikasi yang dapat terjadi pada penyakit stroke menurut Smeltzer &
Bare (2002) adalah:
1.
Hipoksia serebral, diminimalkan dengan memberi
oksigenasi darah adekuat ke otak. Fungsi otak bergantung pada ketersediaan
oksigen yang dikirimkan ke jaringan. Pemberian oksigen suplemen dan
mempertahankan hemoglobin serta hematokrit pada tingkat dapat diterima akan
membantu dalam mempertahankan oksigenasi jaringan.
2.
Penurunan aliran darah serebral, bergantung pada
tekanan darah, curah jantung, dan integritas pembuluh darah serebral. Hidrasi
adekuat (cairan intrvena) harus menjamin penurunan viskositas darah dan
memperbaiki aliran darah serebral. Hipertensi dan hipotensi ekstrim perlu
dihindari untuk mencegah perubahan pada aliran darah serebral dan potensi
meluasnya area cedera.
3.
Embolisme serebral, dapat terjadi setelah infark
miokard atau fibrilasi atrium atau dapat berasal dari katup jantung prostetik.
Embolisme akan menurunkan aliran darah ke otak dan selanjutnya akan menurunkan
aliran darah serebral. Disritmia dapat mengakibatkan curah jantung tidak
konsisten dan penghentian trombus lokal. Selain itu, disritmia dapat
menyebabkan embolus serebral dan harus diperbaiki.
9. Pemeriksaan Diagnostik
Menurut (Doenges dkk, 1999) pemeriksaan diagnostik yang dapat dilakukan
pada penyakit stroke adalah:
1. Angiografi
serebral: membantu menentukan penyebab stroke secara spesifik seperti
perdarahan, obstruksi arteri atau adanya titik oklusi/ ruptur.
2. CT-scan:
memperhatikan adanya edema, hematoma, iskemia, dan adanya infark.
3. Pungsi
lumbal: menunjukkan adanya tekanan normal dan biasanya ada thrombosis, emboli
serebral, dan TIA (Transient Ischaemia Attack) atau serangan iskemia
otak sepintas. Tekanan meningkat dan cairan yang mengandung darah
menunjukkan adanya hemoragik subarakhnoid atau perdarahan intra kranial. Kadar
protein total meningkat pada kasus thrombosis sehubungan dengan adanya proses
inflamasi.
4. MRI (Magnetic
Resonance Imaging): menunjukkan daerah yang mengalami infark, hemoragik dan
malformasi arteriovena.
5. Ultrasonografi
Doppler: mengidentifikasi penyakit arteriovena.
6. EEG (Electroencephalography):
mengidentifikasi penyakit didasarkan pada gelombang otak dan mungkin
memperlihatkan daerah lesi yang spesifik.
7. Sinar X:
menggambarkan perubahan kelenjar lempeng pineal daerah yang berlawanan dari
massa yang meluas, kalsifikasi karotis interna terdapat pada thrombosis
serebral.
ASUHAN KEPERAWATAN TEORITIS
1. Pengkajian
1. Pengkajian
Primer
a. Airway: Adanya sumbatan/obstruksi
jalan napas oleh adanya penumpukan sekret akibat kelemahan reflek batuk.
b. Breathing: Kelemahan batuk/melindungi jalan napas, timbulnya pernapasan yang sulit dan/atau tak
teratur, suara nafas terdengar ronchi /aspirasi.
c. Circulation: TD dapat
normal atau meningkat , hipotensi terjadi pada tahap lanjut, takikardi, bunyi
jantung normal pada tahap dini, disritmia, kulit dan membran mukosa pucat,
dingin, sianosis pada tahap lanjut.
2. Pengkajian
Sekunder
a. Aktivitas dan istirahat
a)
Data
Subyektif:
1. Kesulitan dalam beraktivitas; kelemahan, kehilangan sensasi atau paralysis.
2. Mudah lelah, kesulitan istirahat (nyeri atau kejang otot)
b)
Data
obyektif:
1.
Perubahan
tingkat kesadaran.
2.
Perubahan
tonus otot (flaksid
atau spastic), paraliysis
(hemiplegia) ,kelemahan umum.
3.
Gangguan penglihatan
b. Sirkulasi
a)
Data
Subyektif:
Riwayat penyakit jantung (penyakit katup jantung, disritmia, gagal jantung, endokarditis bacterial),
polisitemia.
b)
Data
obyektif:
1.
Hipertensi
arterial
2.
Disritmia,
perubahan EKG
3.
Pulsasi:
kemungkinan bervariasi.
4.
Denyut karotis,
femoral dan arteri iliaka atau aorta abdominal
c. Integritas ego
a)
Data
Subyektif:
Perasaan
tidak berdaya, hilang harapan
b)
Data
obyektif:
1.
Emosi yang
labil dan marah yang tidak tepat, kesediahan , kegembiraan
2.
Kesulitan
berekspresi diri.
d. Eliminasi
a) Data Subyektif:
1.
Inkontinensia,
anuria.
2.
Distensi
abdomen (kandung kemih sangat penuh),
tidak adanya suara usus (ileus paralitik).
e. Makan/minum
a) Data Subyektif:
1.
Nafsu makan
hilang
2.
Nausea/vomitus
menandakan adanya PTIK
3.
Kehilangan
sensasi lidah, pipi, tenggorokan, disfagia
4.
Riwayat DM,
Peningkatan lemak dalam darah
b) Data obyektif:
1.
Problem
dalam mengunyah (menurunnya reflek palatum dan faring).
2.
Obesitas (faktor resiko).
f. Sensori neural
a) Data Subyektif:
1.
Pusing/syncope (sebelum CVA/sementara selama TIA).
2.
nyeri kepala:
pada perdarahan intra serebral atau
perdarahan sub arachnoid.
3.
Kelemahan,
kesemutan/kebas, sisi yang terkena terlihat seperti lumpuh/mati.
4.
Penglihatan
berkurang.
5.
Sentuhan:
kehilangan sensor pada sisi kolateral pada ekstremitas dan pada muka
ipsilateral (sisi yang sama).
6.
Gangguan
rasa pengecapan dan penciuman.
b) Data obyektif:
1.
Status
mental; koma biasanya menandai stadium perdarahan , gangguan tingkah laku
(seperti: letargi, apatis, menyerang) dan
gangguan fungsi kognitif.
2.
Ekstremitas:
kelemahan/paraliysis (kontralateral pada semua jenis stroke, genggaman tangan
tidak imbang, berkurangnya reflek tendon dalam
(kontralateral).
3.
Wajah:
paralisis/parese (ipsilateral).
4.
Afasia (kerusakan atau kehilangan fungsi bahasa, kemungkinan ekspresif/ kesulitan
berkata kata, reseptif/kesulitan berkata kata komprehensif, global/kombinasi
dari keduanya.
5.
Kehilangan
kemampuan mengenal atau melihat, pendengaran, stimulasi taktil.
6.
Apraksia:
kehilangan kemampuan menggunakan motorik.
7.
Reaksi dan
ukuran pupil: tidak sama dilatasi dan tak bereaksi pada sisi ipsi lateral.
g. Nyeri/kenyamanan
a) Data Subyektif:
Sakit kepala yang bervariasi intensitasnya.
b) Data obyektif:
Tingkah laku yang tidak stabil, gelisah, ketegangan otot/fasial.
2. Pemeriksaan Fisik
Tanda-tanda vital yang meliputi tekanan darah, nadi, suhu dan pernafasan.
3. Pemeriksaan Neurologi
1.
Fungsi serebral: Terdiri dari status mental, fungsi intelektual, daya pikir, status
emosional, persepsi, kemampuan motorik, dan bahasa.
2.
Pengukuran GCS
a.
Eyes ( membuka mata )
a)
Spontan :
4
b)
Terhadap rangsangan suara : 3
c)
Terhadap rangsangan nyeri : 2
d)
Tidak ada respon :
1
b.
Motorik
a)
Sesuai perintah :
6
b)
Karena nyeri lokal :
5
c)
Menarik daerah nyeri :
4
d)
Fleksi abnormal :
3
e)
Ekstensi abnormal :
2
f)
Tidak ada respon :
1
c.
Verbal
a)
Orientasi waktu :
5
b)
Bicara kacau (kalimat) :
4
c)
Kata-kata tidak tepat :
3
d)
Tidak bermakna (bergumam) : 2
e)
Tidak berespon : 1
3.
Saraf cranial
a)
Besar
pupil tidak sama, ptosis kelopak mata
b)
Nervus : Defisit dari Nervus
a.
N. I. : Olfactory
b.
N. II. : Optic
c.
N. III. : Oculomotor
d. N. IV : Moto trochlear (gerakan kebawah/kedalam mata)
e. N.V : Trigeminal (Gerakan rahang, muka)
f. N.VI : Abducens (Lateral Mata)
g.
N.VII : Facial
h.
N.VIII : Acoustic (cochlea, vestibular)
i.
N. IX : Glosofaringeal
j. N.X : Vogus (motor, palatum, faring, laring)
k. N.XI : Asesori Spinal: mastoid, trapezius
l. N.XII : Hypoglosal (Motor-lidah)
4.
Pemeriksaan motorik
Meliputi pengkajian motorik
kasar, tes keseimbangan dan pengkajian
motorik halus.
5.
Pemeriksaan sensorik
Meliputi sensasi taktil, sensasi
suhu dan nyeri, vibrasi dan propriosepsi, dan merasakan posisi.
6.
Status refleks
a.
Refleks bisep
Peregangan
tendon bisep pada saat siku dalam keadaan fleksi. Orang yang menguji menyokong
lengan bawah satu tangan sambil menempatkan ibu jari dengan menggunakan palu
refleks.
b.
Refleks trisep
Lengan pasien fleksi pada siku dan pronasi dan di
posisikan di depan dada. Palpasi 2,5-5 cm di atas siku. Refleks ini menyebabkan
kontraksi otot trisep dan ekstensi siku.
c.
Refleks brachioradialis
Tangan klien diletakkan di atas paha dalam keadaan
pronasi. Pukulkan refleks hammer di atas tenson pergelangan tangan, amati fleksi, supinasi dari
tangan klien.
d.
Refleks abdomen
Klien tetap
dalam posisi supine tanpa mengenakan baju. Sentuhkan ujung tajam refleks hammer
ke kulit bagian abdomen mulai dari arah lateral ke bagian umbilical dan amati kontraksi otot abdomen.
e.
Refleks patella
Refleks patella
di timbulkan dengan cara mengetok tendon patella tepat di bawah partela. Kaki dalam keadaan duduk atau tidur terlentang. Jika Kaki terlentang, pengkaji menyokong kaki untuk memudahkan relaksasi otot. Konstraksi
guadrisep dan ekstensi lutut adalah respon normal.
f.
Refleks Achilles/ankle
Pegang telapak kaki klien dengan tangan non dominan
pemeriksa. Pukul tendon Achilles dengan bagian tumpul refleks hammer dan amati
kontraksi otot kuadrisep.
g.
Refleks plantar
Klien dalam posisi supine dan kedua tungkai bawah
sedikit eksternal rotasi, stimulasi telapak kakki klien dengan ujung tajam
refleks hammer. Sentuhan dimulai dari tumit kea
rah luar telapak kaki klien. Amati gerakan
telapak kaki (normal jika gerak plantar fleksi jari-jari kaki).
h. Refleks
babinsky.
Indikasi
adanya penyakit SSP. Bila bagian lateral seseorang dengan penyakit SSP digores,
maka akan terjadi kontraksi kaki dan menarik bersama-sama. Pada pasien yang
mengalami penyakit SSP, maka pada system motorik jari-jari kaki menyebar dan
menjauh. Pada bayi refleks ini normal.
i.
Refleks kernig
Klien berbaring difleksikan pahanya pada persendian panggul sampai membuat
sudut 900.
j.
Refleks laseque
Klien berbaring difleksikan pahanya pada persendian panggul sampai membuat
sudut 60-700
k. Refleks
brudzinski
Klien berbaring
kemudian tangan pemeriksa ditempatkan di bawah kepala pasien yang sedang
berbaring, tekukkan kepala sejauh mungkin sampai dagu mencapai dada. Tangan
yang satu lagi sebaiknya ditempatkan di dada klien untuk mencegahnya
diangkatnya badan. Bila tanda brudzinski positif, maka tindakan ini
mengakibatkan fleksi kedua tungkai.
l.
Refleks brudzinski II
Klien berbaring satu tungkai
difleksikan pada persendian penggul, sedangkan tungkai yang satu lagi berada
dalam keadaan ekstensi lurus. Bila tungkai yang satu ikut terfleksi, maka tanda
brudzinski II positif.
4. Diagnosa Keperawatan
1.
Gangguan perfusi
jaringan cerebral berhubungan dengan gangguan aliran arteri atau vena.
2.
Intoleransi
aktifvitas berhubungan dengan ketidakseimbangan
antara suplai oksigen dengan kebutuhan/ kelemahan
fisik.
3.
Ketidakefektifan
pembersihan jalan napas berhubungan dengan akumulasi sekret sekunder adanya kelemahan neuromuskuler.
4.
Ketidakseimbangan
nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan kesulitan menelan dan
mengunyah
5.
Defisit
perawatan diri berhubungan dengan kerusakan rentang gerak.
6.
Kerusakan komunikasi verbal berhubungan
dengan kerusakan neuromuskuler (n. Fasialis).
3.3 Planning
No
|
Diagnosa
Keperawatan
|
Tujuan
Dan Kriteria Hasil
|
Intervensi
|
Rasional
|
|||
1
|
Diagnosa
keperawatan pertama: Bersihan jalan nafas tidak efektif berhuungan dengan
penumpukan sputum (karena kelemahan, hilangnya refleks batuk).
|
Tujuan:
Pasien mampu mempertahankan jalan nafas yang paten.
Kriteria
hasil: Bunyi nafas vesikuler, RR normal, Tidak ada tanda-tanda
sianosis dan pucat, Tidak ada sputum.
|
1.
Auskultasi
bunyi nafas
2.
Berikan
posisi semi fowler sesuai dengan kebutuhan (tidak bertentangan dgn masalah
keperawatan lain).
3.
Lakukan
penghisapan sekret dan pasang orofaringeal tube jika kesadaran menurun.
4.
Bila
sudah memungkinkan lakukan fisioterapi dada dan latihan nafas dalam.
5.
Kolaborasi:
a.
Pemberian
oksigen
b.
Laboratorium:
Analisa gas darah, darah lengkap dll
c.
Pemberian
obat sesuai kebutuhan
|
1.
Mengetahui
adanya sumbatan nafas.
2.
Posisi
yang sesuai untuk respirasi yang optimum.
3.
membebaskan
saluran nafas dari sekret.
4.
membantu
menggelontorkan secret agar mudah dikeluarkan.
5.
Membantu
memenuhi kebutuhan oksigen tubuh, mengetahui kadar oksigen dalam darah.
|
|||
2
|
Gangguan
perfusi jaringan serebral berhubungan dengan oedema serebral.
|
Tujuan:
kesadaran penuh, tidak gelisah.
Kriteria
hasil: tingkat kesadaran membaik, tanda-tanda vital stabil tidak
ada tanda-tanda peningkatan tekanan intrakranial.
|
1.
Pantau/catat
status neurologis secara teratur dengan skala koma glascow.
2.
Pantau
tanda-tanda vital terutama tekanan darah.
3.
Pertahankan
keadaan tirah baring.
4.
Letakkan
kepala dengan posisi agak ditinggikkan dan dalam posisi anatomis (netral).
5.
Berikan
obat sesuai indikasi: contohnya antikoagulan (heparin).
|
1.
Mengkaji
adanya kecenderungan pada tingkat kesadaran.
2.
Autoregulasi
mempertahankan aliran darah otak yang konstan.
3.
Aktivitas/stimulasi
yang kontinu dapat meningkatkan tekanan intra kranial (TIK).
4.
Menurunkan
tekanan arteri dengan meningkatkan drainase dan meningkatkan sirkulasi/perfusi
serebral.
5.
Meningkatkan/memperbaiki
aliran darah serebral dan selanjutnya dapat mencegah pembekuan.
|
|||
3
|
Intoleransi aktifvitas berhubungan dengan ketidakseimbangan antara suplay oksigen dengan kebutuhan/kelemahan fisik.
|
Tujuan: Setelah dilakukan tindakan
keperawatan selama 2x24 jam Pasien
bertoleransi terhadap aktivitas.
Kriteria Hasil:
1. Berpartisipasi
dalam aktivitas fisik tanpa disertai peningkatan tekanan darah, nadi dan RR.
2. Mampu
melakukan aktivitas sehari hari (ADLs) secara mandiri.
3. Keseimbangan
aktivitas dan istirahat.
4. Klien dapat
menoleransi aktivitas & melakukan ADL dgn baik
5. Warna kulit
normal,hangat&kering
6. Memverbalisasikan
pentingnya aktivitas secara bertahap
7. Mengekspresikan
pengertian pentingnya keseimbangan latihan & istirahat.
8. ↑toleransi
aktivitas
|
1. Menentukan penyebab intoleransi
aktivitas&menentukan apakah penyebab dari fisik, psikis/motivasi
2. Kaji kesesuaian aktivitas&istirahat klien
sehari-hari
3. ↑ aktivitas secara bertahap, biarkan klien
berpartisipasi dapat perubahan posisi, berpindah&perawatan diri
4. Pastikan klien mengubah posisi secara bertahap.
Monitor gejala intoleransi aktivitas
5. Ketika membantu klien berdiri, observasi
gejala intoleransi spt mual, pucat, pusing, gangguan kesadaran&tanda
vital
6. Lakukan latihan ROM jika klien tidak dapat
menoleransi aktivitas
|
Rasional:
a. Menentukan
penyebab dapat membantu menentukan intoleransi
b.Terlalu
lama bedrest dapat memberi kontribusi pada intoleransi aktivitas
c. Peningkatan
aktivitas membantu mempertahankan kekuatan otot, tonus
d.Bedrest
dalam posisi supinasi menyebabkan volume plasma→hipotensi postural &
syncope
e. TV & HR respon terhadap ortostatis sangat beragam
f. Ketidakaktifan berkontribusi terhadap kekuatan otot & struktur
sendi
|
|||
4
|
Ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan
tubuh berhubungan dengan kesulitan menelan dan mengunyah
|
Tujuan:
Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 1x24 jam nutrisi kurang teratasi.
Kriteria
hasil:
1. Albumin serum.
2. Pre albumin serum.
3. Hematokrit.
4. Hemoglobin.
5. Total iron binding capacity.
6. Jumlah limfosit
|
1. Kaji
adanya alergi makanan
2. Kolaborasi
dengan ahli gizi untuk menentukan jumlah kalori dan nutrisi yang dibutuhkan
pasien.
3. Yakinkan diet
yang dimakan mengandung tinggi serat untuk mencegah konstipasi.
4. Ajarkan
pasien bagaimana membuat catatan makanan harian.
5. Monitor
adanya penurunan BB dan gula darah.
6. Monitor
lingkungan selama makan.
7. Jadwalkan
pengobatan dan tindakan tidak selama
jam makan.
8. Monitor
turgor kulit.
9. Monitor kekeringan,
rambut kusam, protein, Hb dan kadar Ht.
10. Monitor
mual dan muntah.
11. Monitor
pucat, kemerahan, dan kekeringan jaringan konjungtiva.
12. Monitor
intake nuntrisi.
13. Informasikan
pada klien dan keluarga tentang manfaat nutrisi.
14. Kolaborasi
dengan dokter tentang kebutuhan suplemen makanan seperti NGT/ TPN sehingga
intake cairan yang adekuat dapat dipertahankan.
15. Atur
posisi semi fowler atau fowler tinggi selama makan
16. Kelola
pemberan anti emetik
17. Anjurkan
banyak minum
18. Pertahankan
terapi IV line
19. Catat adanya
edema, hiperemik, hipertonik papila lidah dan cavitas oval
|
||||
5
|
Defisit perawatan diri berhubungan dengan kerusakan rentang gerak.
|
Tujuan: Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama1x24 jam Defisit perawatan diri teratasi.
Kriteria hasil:
1. Klien
terbebas dari bau badan.
2. Menyatakan
kenyamanan terhadap kemampuan untuk melakukan ADLs.
3. Dapat
melakukan ADLS dengan bantuan
|
1.
Monitor kemempuan klien untuk perawatan diri yang mandiri.
2.
Monitor kebutuhan klien untuk alat-alat bantu untuk kebersihan diri,
berpakaian, berhias, toileting dan makan.
3.
Sediakan bantuan sampai klien mampu secara utuh untuk melakukan
self-care.
4.
Dorong klien untuk melakukan aktivitas sehari-hari yang normal sesuai
kemampuan yang dimiliki.
5.
Dorong untuk melakukan secara mandiri, tapi beri bantuan ketika klien
tidak mampu melakukannya.
6.
Ajarkan klien/keluarga untuk mendorong kemandirian, untuk memberikan
bantuan hanya jika pasien tidak mampu untuk melakukannya.
7.
Berikan aktivitas rutin sehari- hari sesuai kemampuan.
8.
Pertimbangkan usia klien jika mendorong pelaksanaan aktivitas
sehari-hari.
|
||||
6
|
Kerusakan komunikasi verbal
berhubungan dengan kerusakan neuromuskuler (n. Fasialis).
|
Tujuan: dapat
berkomunikasi sesuai dengan keadaannya.
Kriteria hasil: Klien dapat mengemukakan bahasa isyarat dengan tepat, terjadi kesapahaman bahasa antara klien, perawat dan keluarga. |
1.
Kaji
tingkat kemampuan klien dalam berkomunikasi.
2.
Minta
klien untuk mengikuti perintah sederhana.
3.
Tunjukkan
objek dan minta pasien menyebutkan nama benda tersebut.
4.
Ajarkan
klien tekhnik berkomunikasi non verbal (bahasa isyarat).
5.
Konsultasikan
dengan/ rujuk kepada ahli terapi wicara.
|
1.
Perubahan
dalam isi kognitif dan bicara merupakan indikator dari derajat gangguan
serebral.
2.
melakukan
penilaian terhadap adanya kerusakan sensorik.
3.
Melakukan
penilaian terhadap adanya kerusakan motorik.
4.
bahasa
isyarat dapat membantu untuk menyampaikan isi pesan yang dimaksud.
5.
untuk
mengidentifikasi kekurangan/ kebutuhan terapi.
|
|||
Arterisclerosis
|
Etiologi
1.
Faktor
pencetus HT, DM, penyakit jantung
2.
Merokok,
setres, gaya hidup yang tidak baik
3.
Faktor
obesitas dan kolesterol yang meningkat dalam darah
|
Trombus serebral
|
Mengikuti aliran darah
Emboli serebral
|
Stroke
hemoragik
|
Peningkatan
TIK
|
Stroke
non hemoragik
Sumbatan aliran darah &
o2 serebral
Infark jaringan serebral
Proses metabolisme dalam
otak terganggu
Penurunan suplai darah &
o2 ke otak
Gangguan
perfusi jaringan serebral
|
Nyeri
|
Peningkatan tekanan sistemik
Aneurisma
Perdarahan arachnoid/ventrikel
Hematoma cerebral
PTIK/herniasi serebral
Penurunan kesadaran
1.
Resiko
aspirasi
2.
Resiko
trauma
3.
Resiko
jatuh
|
Penimbunan lemak/kolesterol
yang meningkat dalam darah
Lemak yang sudah nekrotik
dan berdegenerasi
Infiltrasi limfosit
(trombus)
Pembuluh darah menjadi kaku
Pembuluh darah menjadi pecah
Kompresi jaringan otak
|
Peningkatan TIK
|
Disfungsi N XI (assesorius)
Kelemahan anggota
gerak/kelemahan fisik
Intoleransi
aktifitas
|
Arteri vertebra
basilaris/Infark batang otak
|
Nervus XII
Reflek mengunyah menurun
Tersedak
Obstruksi jalan nafas
Bersihan
jalan nafas tidak efektif
|
Kerusakan neuroserebrospinal
N VII, N IX, N XII
Kehilangan fungsi tonus otot
fasialis
Kerusakan
komunikasi verbal
|
Penurunan fungsi N X, N IX
Proses menelan tidak efektif
Refluks
Disfagia
Gangguan
kebutuhan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh
|
Penurunan neurologis,
defisit N I, N II, N IV, N XII
Perubahan ketajaman sensori,
penghidu, penglihatan dan pengecapan
Gangguan persepsi, sensori
|
Arteri serebri media
Disfungsi N XI
Kegagalan menggerakkan
anggota tubuh
Kerusakan mobilitas fisik
Defisit
perawatan diri
|
Menurun 25-30ml/100 gr
otak/menit
Iskemik otak
|
<24 jam
Transient ischemic attack
Kelainan neurologis
sementara
|
Perawatan dan pengobatan tidak
akurat
|
24 jam -21 hari
Stroke in evolution(dalam
perkembangan)
Gejala neurologis bertambah
|
Sembuh total beberapa hari
|
Menurun >-18ml/100 gr
otak/ menit
Infark serebri
STROKE
KOMPLIT
1.
Cerebrum
2.
Batang
otak
3.
cereblum
(otak
kecil)
|
DAFTAR PUSTAKA
Arief,
Mansjoer, dkk. 2007. Kapita Selekta Kedokteran. Jilid 1,
Edisi 3. Jakarta: Media Aesculapius FKUI.
Carpenito,
L.J. 1999. Rencana Asuhan dan Dokumentasi Keperawatan. Jakarta: EGC.
Harsono.
1996. Buku Ajar: Neurologi Klinis.
Yogyakarta: Gajah Mada university press.
Long C,
Barbara. 1996. Perawatan Medikal Bedah.
Jilid 2. Bandung: Yayasan Ikatan Alumni Pendidikan Keperawatan Pajajaran.
Marilynn E, Doengoes. 2000. Rencana
Asuhan Keperawatan. Edisi 3. Jakarta: EGC.
Pusat
pendidikan Tenaga Kesehatan Departemen Kesehatan. 1996. Asuhan Keperawatan Klien Dengan Gangguan Sistem Persarafan. Jakarta:
Depkes.
Smeltzer,
S.
C& Bare,B.G.
2006. Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah. Edisi
8. Jakarta:
EGC.
2 komentar:
terimakaish banyak, lumayan komplit sekali
http://cv-pengobatan.com/
kembali kasih
Posting Komentar