BAB
1
PENDAHULUAN
A. Latar
Belakang
Menurut
Badan Kesehatan Dunia sebanyak 100-150 juta penduduk dunia adalah penyandang
asma, dan jumlah itu terus bertambah sebanyak 180.000 orang tiap tahun.
Sejumlah informasi seperti di Kanada pada tahun 2003, asma merupakan penyebab
hilangnya 24,5 juta hari kerja.
Rata-rata
jumlah pasien perhari berkisar 25 orang. Sebagian besar adalah kelompok lanjut
usia. Peralihan musim hujan ke kemarau membuat penderita asma meningkat,
khususnya pada kelompok lanjut usia saat peralihan. Udara di malam hari sangat
dingin sehingga faktor pencetus asma berubah menjadi manifestasi.
B. Tujuan
Penulis
1. Memenuhi tugas mata kuliah Askep Gerontik
2. Untuk menambah pengetahuan penulis terutama
lanjut usia tentang asma, sebagai informasi bagi tenaga kesehatan khususnya
perawat tentang askep gerontik.
3. Memberitahu pembaca terutama lanjut usia
supaya menjaga kondisi tubuh dan kesehatan dengan tidak terkena asma.
C. Metode
Penulisan
Dalam
penyusunan makalah ini penulis menggunakan metode studi pustaka, yaitu penulis
mengambil informasi dari buku yang berkenaan dengan judul di atas.
BAB
2
TIJAUAN
PUSTAKA
A. Pengertian
Menurut
Stein (1998), asma adalah obstruksi akut pada bronkus yang disebabkan oleh
penyempitan yang intermitten pada saluran napas di banyak tingkat mengakibatkan
terhalangnya aliran udara, sedangkan menurut Surya (1990), asma adalah
obstruksi jalan napas generalisata yang bervariasi dalam hal spontanitas atau
responnya terhadap pengobatan.
Asma
adalah penyakit obstruksi jalan napas yang dapat pulih dan intermitten yang
ditandai oleh penyempitan jalan napas, mengakibatkan dispnea, batuk dan mengi
(Baughman, 2000).
Berdasarkan
pengertian di atas, maka dapat disimpulkan asma adalah penyakit inflamasi
obstruksi yang ditandai oleh episodik spasme otot polos dalam dinding saluran
udara bronchial (spasme bronkus). Spasme bronkus ini menyempitkan jalan napas
sehingga membuat pernapasan menjadi sulit (dispnea), menimbulkan bunyi mengi
dan batuk.
B. Klasifikasi
Ada
2 bentuk asma : asma bronkhial menurut Subuea (2005), yaitu :
1. Asma esktrinsik, mulai pada usia muda,
sering pada anak kecil
Gejala awal berupa ekzema/hay fever (bersin-bersin
dengan ingus yang encer) hay fever dan eksema dapat timbul pada penderita yang
berdasarkan sifat imunologik, peka terhadap alergen yaitu bahan yang terdapat
dalam udara. Keadaan ini disebut atopi. Alergen yang telah lama dikenal ialah tepung
sari dari bunga, rumput-rumputan, pohon, bulu kucing atau debu rumah.
2. Asma bronkhial intrinsik timbul pada usia
yang lebih lanjut, hampir sepanjang hidup penderita ini tidak kita temukan
suatu faktor alergi yang menjadi penyebabnya tetapi ditemukan kepekaan yang
berlebihan dari bronkus terhadap sejumlah stimulus yang non alergi, misal :
infeksi virus/bakteri dari bronkus, kadang-kadang kegiatan jasmani,
kadang-kadang karena menghirup udara dingin.
C. Etiologi
Menurut
Surya (1990) dalam buku Manual Ilmu Penyakit Paru, penyebab asma yaitu :
1. Faktor Predisposisi
a. Atopi
Gejala seperti rinitis musiman (hay fever) atau
eksema maupun secara imunologis (berupa tes prick kulit yang positif terhadap
satu atau lebih alergen, atau peningkatan kadar IgE serum.
b. Riwayat keluarga
Suatu riwayat keluarga asma seringkali diperoleh
pada anamnesis.
2. Faktor Presipitasi
a. Latihan
Asma, terutama pada remaja, seringkali dicetuskan
oleh latihan.
b. Suhu udara
Inhalasi udara kering dan dingin seringkali
mencetuskan asma dan beberapa pasien mungkin mengalami mengi pada perubahan
udara dingin menjadi panas.
c. Musim
Musim mempengaruhi asma melalui efeknya pada suhu
udara, melalui terjadinya infeksi saluran napas atas atau melalui alergen “air
borne” musiman.
d. Alergi
Alergen domestol yang paling umum menyebabkan asma
adalah bulu binatang dan debu rumah, tetapi itu mungkin tidak mungkin diketahui
atau dibuktikan hubungannya. Musiman terdiri dari serbuk sari pohon (musim
semi), serbuk sarik rumput (musim panas) lumut (musim gugur) dan banyak yang
lainnya.
e. Pekerjaan
f. Makanan dan minuman
Bahan pengawet (sulfur dioksida dalam minuman dan
beberapa makanan kalengan), bahan pewarna (terutama tartrazine dalam makanan
dan minuman) atau campuran (seperti rezin dan bahan lain dalam anggur).
g. Emosi
Emosi mungkin berperan dalam mencetuskan serangan
asma pada orang yang sudah diketahui menderita asma.
h. Obat-obatan
Obat-obatan beta blocker akan memperburuk asma yang
sudah ada, analgetik (terutama tetapi tak selalu aspirin) mungkin mencetuskan
asma terutama pada pasien yang lebih tua yang juga mempunyai polip hidung.
i. Infeksi saluran napas atas
Merupakan pencetus yang umum untuk kambuhnya asma
(Surya, 1990).
D. Patofisiologi
Mekanisme
terjadinya penyempitan saluran nafas pada asma disebabkan oleh adanya proses :
1. Kontraksi otot polos bronkus (bronkospasme)
2. Adanya hiperreaktifitas bronkus
3. Proses peradangan (inflamasi) saluran napas
(Samekto, 2002)
E. Manifestasi
Klinis
Menurut
Baughman (2002) adalah :
1. Gejala umum
a. Batuk
b. Dispnea
c. Mengi
2. Serangan asma
a. Seringkali terjadi pada malam hari
b. Mulai secara mendadak dengan batuk dan
sensasi sesak dada
c. Kemudian pernapasan lambat, laborius, mengi
d. Ekspirasi lebih kuat dan lama dari inspirasi
e. Obstruksi jalan napas membuat sensasi
dispnea
f. Batuk sulit dan kering pada awalnya, diikuti
dengan batuk yang lebih kuat dengan sputum yang berbeda dari lendir encer.
g. Total serangan dapat berlangsung 30 menit
sampai beberapa jam dan dapat menghilang secara spontan
3. Tanda-tanda lanjut
a. Sianosis sekunder akibat, hipoksia berat
b. Gejala-gejala retensi karbon inonoksida
(misal : berkeringat, takikardia dan desakan nadi melebar)
4. Reaksi yang berhubungan
a. Eksem
b. Urtikaria
c. Edema angioneurotik
F. Pemeriksaan
Penunjang
Menurur
Samekto (2002) dan Suryo (1990) adalah :
1. Foto ronsen data
Biasanya normal pada saat diantara serangan asma
kecuali pada asma yang berat dan lama (ketika terjadi inflamasi berlebihan dan
penebalan dinding dada) atau jika tak terjadi komplikasi, seperti aspergilosis
bronkhopulmonal.
2. Pemeriksaan laboratorium
- Darah : cosinofilia (5-15% total leukosit)
- Sputum : eosinofilis, spiral crushman,
kristal charcot leyden
- Tes kulit dengan alergen
- Pengukuran kadar IgE serum
3. Pemeriksaan Radiologi
- Normal atau hiperinflasi
- Penting untuk mengetahui adanya komplikasi :
pneumothorak, pneumonia, atelektasit, pneumomediastinum, dan lain-lain
4. Tes provokasi bronkus
Untuk menunjukkan adanya hiperreaktifitas bronkus :
- Provokasi beban kerja
- Provokasi dengan hiperventilasi isokaonik
udara dingin
- Provokasi inhalasi dengan bahan :
a. Spesifik : alergen tertentu
b. Non spesifik : histamin, metakilin,
prostaglandin F2 alfa
5. Anlisa gas darah
Pemeriksaan ini atas indikasi untuk menentukan derajat
beratnya asma atau gagal nafas.
6. Pemeriksaan EKG
Untuk menentukan seberapa jauh pengaruh serangan
asma terhadap jantung.
G. Penatalaksanaan
Menurut
Baughman (2000) adalah :
1. Terapi obat
- Agonis beta
- Metilsantin
- Antikolinergik
- Kortikosteroid
- Inhibitor sel mast
2. Penatalaksanaan asma tergantung atas
beratnya serangan, berdasarkan anjuran WHO penatalaksanaan asma secara global
(GINA : Global Initiative for Asthma) sebagai berikut :
Menurut Samekto (2000)
Tujuan umum terapi asma adalah :
a. Pertahankan aktifitas normal, pekerjaan
sehari-hari
b. Pertahankan faal paru mendekati normal
c. Cegah gejala kronik dan eksaserbasi
d. Hindari efek samping obat-obatan asma
3. Pencegahan
Menurut Baughman (2000) adalah :
a. Evaluasi dan identifikasi protein asing yang
mencetuskan serangan
b. Lakukan uji kulit terhadap bahan dan matras
dan bantal jika serangan terjadi pada malam hari
c. Lakukan uji kulit yang dibuat dengan
senyawaan kerokan antigen dari rambut atau kulit jika serangan tampak berkaitan
dengan binatang
d. Hindari pemajanan terhadap bercak serbuk
yang membahayakan, misal : tinggal dalam ruangan ber-AC selama musim serbuk
atau jika memungkinkan ubah zona iklim
e. Cegah asma yang diakibatkan oleh latihan
(EIA) dengan melakukan inspirasi udara pada 37ºC dan kelembaban relatif 100%
f. Tutup hidung dan mulut dengan masker untuk
aktivitas yang menyebabkan serangan
ASUHAN
KEPERAWATAN TEORITIS
A. Pengkajian
Menurut Nugroho (2000) :
1. Temperatur
- Mungkin serendah 95ºF (hipotermi) ± 35ºC
- Lebih teliti diperiksa di sublingual
2. Pulse (denyut nadi)
- Kecepatan, irama, volume
- Apikal, radial, pedal
3. Respirasi (pernafasan)
- Kecepatan, irama, kedalaman
- Tidak teraturnya pernafasan
4. Tekanan darah
- Saat baring, duduk, berdiri
- Hipotensi akibat posisi tubuh
5. Berat badan perlahan-lahan hilang pada
tahun-tahun terakhir
6. Tingkat orientasi
7. Memory (ingatan)
8. Pola tidur
9. Penyesuaian psikososial
10. Sistem persyarafan
a. Kesimetrisan raut wajah
b. Tingkat kesadaran adanya perubahan-perubahan
dari otak
- Tidak semua orang menjadi snile
- Kebanyakan mempunyai daya ingatan menurun
atau melemah
c. Mata : pergerakan, kejelasan melihat, adanya
katarak
d. Pupil : kesamaan, dilatasi
e. Ketajaman penglihatan menurun karena menua :
- Jangan dites di depan jendela
- Pergunakan tangan atau gambar
- Cek kondisi kacamata
f. Sensory deprivation (gangguan sensorik)
g. Ketajaman pendengaran
- Apakah menggunakan alat bantu dengar
- Tinutis
- Serumen telinga bagian luar, jangan
dibersihkan
h. Adanya rasa sakit atau nyeri
11. Sistem kardiovaskuler
a. Sirkulasi perifer, warna dan kehangatan
b. Auskultasi denyut nadi apikal
c. Periksa adanya pembengkakan vena jugularis
d. Pusing
e. Sakit
f. Edema
12. Sistem gastrointestinal
a. Status gizi
b. Pemasukan diet
c. Anoreksia, tidak dicerna, mual dan muntah
d. Mengunyah dan menelan
e. Keadaan gigi, rahang dan rongga mulut
f. Auskultasi bising usus
g. Palpasi apakah perut kembung ada pelebaran
kolon
h. Apakah ada konstipasi (sembelit) diare adan
inkondinensia alui
13. Sitem genitourinarius
a. Warna dan bau urine
b. Distensi kandung kemih, inkontinensia (tidak
dapat menahan untuk buang air kecil)
c. Frekuensi, tekanan atau desakan
d. Pemasukan dan pengeluaran cairan
e. Disuria
f. Seksualitas
- Kurang minat untuk melaksanakan hubungan seks
- Adanya kecacatan sosial yang mengarah
keaktivitas seksual
14. Sistem kulit
a. Kulit
- Temperatur, tingkat kelembaban
- Keutuhan luka, luka bakar, robekan
- Turgor (kekenyalan kulit)
- Perubahan pigmen
b. Adanya jaringan parut
c. Keadaan kuku
d. Keadaan rambut
e. Adanya gangguan-gangguan umum
15. Sistem mukuloskeletal
a. Kontraktur
- Atrofi otot
- Mengecilkan tendo
- Ketidakadekuatannya gerakan sendi
b. Tingkat mobilitas
- Ambulasi dengan atau tanpa bantuan/peralatan
- Keterbatasan gerak
- Kekuatan otot
- Kemampuan melangkah atau berjalan
c. Gerakan sendi
d. Paralisis
e. Kifosis
16. Psikososial
a. Menunjukkan tanda-tanda meningkatkannya
ketergantungan
b. Fokus-fokus pada diri bertambah
c. Memperlihatkan semakin sempitnya perhatian
d. Membutuhkan bukti nyata akan rasa kasih
sayang yang berlebihan
B. Diagnosa
Keperawatan dan Intervensi serta Rasional
1. Diagnosa : Bersihan jalan napas tak
efektif berhubungan dengan bronkospasme, peningkatan produksi sekret, sekresi
tertahan, tebal, sekresi kental (Doenges, 1999)
Intervensi
|
Rasional
|
1. Auskultasi bunyi napas
Catat adanya bunyi napas, misal : mengi, krekels,
ronchi
|
1. Beberapa derajat spasme bronkus terjadi
dengan obstruksi jalan napas dan dapat tak dimanifestasi-kan adanya bunyi
napas adventisius, misal : penyebaran krekels basah (bronkhitis), bunyi napas
redup dengan ekspirasi mengi (emfisema) atau tidak adanya bunyi napas (asma
berat)
|
2. Kaji/pantau frekuensi pernapasan. Catat
rasio inspirasi/ekspirasi
|
2. Takipnea biasanya ada pada beberapa
derajat dan dapat ditemukan pada penerimaan atau selama stres/adanya proses
infeksi akut
|
3. Catat adanya/derajat dispnea, misal :
keluhan “lapar udara”, gelisah, ansietas, distres pernapasan, penggunaan otot
bantu
|
3. Disfungsi pernapasan adalah variabel yang
tergantung pada tahap proses kronis selain proses akut yang menimbulkan
perawatan di rumah sakit, misal : infeksi, reaksi alergi
|
4. Kaji pasien untuk posisi yang nyaman,
misal : peninggian kepala tempat tidur, duduk pada sandaran tempat tidur
|
4. Peninggian kepala tempat tidur mempermudah
fungsi pernapasan dengan menggunakan gravitasi
|
5. Pertahankan polusi lingkungan minimum,
misal : debu, asap dan bulu bantal yang berhubungan dengan kondisi individu
|
5. Pencetus tipe reaksi alergi pernapasan yang
dapat mentriger episode akut
|
6. Dorong/bantu latihan napas abdomen/bibir
|
6. Memberikan pasien beberapa cara untuk
mengatasi dan mengontrol dispnea dan menurunkan jebakan udara
|
7. Kolaborasi dalam pemberian obat, misal
- Bronkodilator : Biagonis, epinefrin
- Xantin : aminofilin, oxtrifilin
|
7. Merilekskan otot halus dan menurunkan
kongesti lokal, menurunkan spasme jalan napas, mengi dan produksi mukosa.
Obat-obatan mungkin per oral, injeksi, inhalasi
|
2. Diagnosa : Pertukaran gas berhubungan
dengan gangguan suplai oksigen (obstruksi jalan napas oleh sekresi, spasme
bronkus, jebakan udara) (Doenges, 1999)
Intervensi
|
Rasional
|
1. Kaji frekuensi kedalaman pernapasan. Catat
penggunaan otot aksesori, napas bibir, ketidakmampuan bicara/berbincang
|
1. Berguna dalam evaluasi derajat distres
pernapasan dan/atau kronisnya proses penyakit
|
2. Tinggikan kepala tempat tidur, bantu
pasien untuk memilih posisi yang mudah untuk bernapas. Dorong napas dalam
perlahan atau napas bibir sesuai kebutuhan/ toleransi individu
|
2. Pengiriman oksigen dapat diperbaiki dengan
posisi duduk tinggi dan latihan napas untuk menurunkan kolaps jalan napas,
dispnea dan kerja napas
|
3. Kaji/awasi secara rutin kulit dan warna
membran mukosa
|
3. Sianosis mungkin perifer (terlihat pada
kuku) atau sentral (terlihat sekitar bibir/daun telinga). Keabu-abuan dan
sianosis sentral mengindikasi beratnya hipsemia.
|
4. Dorong mengeluarkan sputum : penghisapan
bila diindikasikan
|
4. kental, tebal dan banyaknya sekresi adalah
sumber utama gangguan pertukaran gas pada jalan napas kecil. Penghisapan
dibutuhkan bila batuk tak efektif.
|
5. Awasi tingkat kesadaran/status mental,
selidiki adanya perubahan
|
5. Gelisah dan ansietas adalah manifestasi
umum pada hipoksia. GDA memburuk disertai bingung/ somnolen menunjukkan
disfungsi sentral yang berhubungan dengan hipoksemia
|
3. Diagnosa : Perubahan nutrisi kurang
dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan anoreksia, mual/muntah. (Doenges, 1999)
Intervensi
|
Rasional
|
1. Kaji kebiasaan diet, masukan makanan saat
ini. Catat derajat kesulitan makan. Evaluasi BB dan ukuran tubuh.
|
1. Pasien distres pwernapasan akut sering
anoreksia karena dispnea, produksi sputum dan obat
|
2. Auskultasi bunyi usus
|
2. Penurunan/hipoaktif bising usus
menunjukkan penurunan motilitas gaster dan konstipasi (komplikasi umum) yang
berhubungan dengan pembatasan masukan cairan, pilihan makanan buruk,
penurunan aktivitas dan hipoksemia.
|
3. Berikan perawatan oral sering, buang
sekret, berikan wadah khusus untuk sekali pakai dan tisu.
|
3. Rasa tidak enak, bau dan penampilan adalah
pencegahan utama terhadap nafsu makan dan dapat membuat mual dan muntah
dengan peningkatan kesulitan napas.
|
4. Hindari makanan penghasil gas dan minuman
karbonat.
|
4. Dapat menghasilkan distensi abdomen yang
mengganggu napas abdomen dan gerakan diafragma dan dapat meningkatkan
dispnea.
|
5. Hindari makanan yang sangat panas atau
dingin.
|
5. Suhu ekstrem dapat
mencetuskan/meningkatkan spasme batuk.
|
4. Diagnosa : Resiko tinggi terhadap
infeksi berhubungan dengan tidak adekuatnya pertahanan utama. (Doenges, 1999)
Intervensi
|
Rasional
|
1. Awasi suhu
|
1. Demam dapat terjadi karena infeksi/
dehidrasi
|
2. Kaji pentingnya latihan napas, batuk
efektif, perubahan posisi sering dan masukan cairan adekuat.
|
2. Aktivitas ini meningkatkan mobilisasi dan
pengeluaran sekret untuk menurunkan risiko terjadinya infeksi paru.
|
3. Observasi warna, karakter, bau sputum.
|
3. Sekret berbau, kuning atau kehijauan menunjukkan
adanya infeksi paru.
|
4. Dorong keseimbangan antara aktivitas dan
istirahat.
|
4. Menurunkan konsumsi/kebutuhan keseimbangan
oksigen dan memperbaiki pertahanan pasien terhadap infeksi, meningkatkan
penyembuhan.
|
5. Diagnosa : Kurang pengetahuan tentang
kondisi berhubungan dengan kurang informasi (Doenges, 1999)
Intervensi
|
Rasional
|
1. Jelaskan/kuatkan penjelasan proses
penyakit individu. Dorong pasien/ orang terdekat untuk menanyakan pertanyaan.
|
1. Menurunkan ansietas dan dapat menimbulkan perbaikan
partisipasi pada rencana pengobatan.
|
2. Instruksikan/kuatkan rasional untuk
latihan napas, batuk efektif dan latihan kondisi umum.
|
2. Napas bibir dan abdominal/ diafragmatik
menguatkan otot pernapasan, membantu meminimalkan kolaps jalan napas kecil
dan memberikan individu arti untuk mengontrol dispnea.
|
3. Diskusikan obat pernapasan, efek samping
dan reaksi yang tidak diinginkan.
|
3. Pasien sering mendapat obat pernapasan
banyak sekaligus yang mempunyai efek samping hampir sama dan potensial interaksi
obat.
|
4. Tunjukkan teknik penggunaan dosis inhaler
(matered dose inhaler/MDI) seperti bagaimana memegang, interval semprotan 2-5
menit, bersihkan inhaler.
|
4. Pemberian yang tepat obat meningkatkan
penggunaan dan keefektifan.
|
5. Sistem alat ukur mencatat obat
intermiten/penggunaan inhaler.
|
5. Menurunkan risiko penggunaan tak
tepat/kelebihan dosis dari obat kalau perlu, khususnya selama eksaserbasi
akut, bila kognitif terganggu.
|
BAB
3
PENUTUP
A. Kesimpulan
Asma
adalah penyakit inflamasi obstruksi yang ditandai oleh periode episodik spasma
otot-otot polos dalam dinding saluran udara bronchial (spasma bronkus). Spasma
bronkus ini menyempitkan jalan nafas sehingga membuat pernafasan menjadi sulit
(dispneal), menimbulkan bunyi mengi dan batuk.
Setelah
dilakukan pengkajian pada Tn. S dengan asma didapatkan data seperti : klien
akan sesak jika terjadi perubahan cuaca yang ekstrim, ada riwayat asma
sebelumnya, sesak nafas jika melakukan aktifitas berat, berbicara
terengah-engah dan posisi duduk kedua tangan memegang lutut, badan dicondongkan
ke depan maka diagnosa yang muncul yaitu : risiko terjadi asma berulang. Agar
asma itu tidak kambuh maka dilakukan intervensi seperti menganjurkan untuk
menghindari penyebab asma misalnya lingkungan dengan suhu ekstrim, polusi
udara, serbuk, dan lain-lain.
B. Saran
- Jika
penderita asma maka kita harus bisa menghindari alergen yang bisa
menimbulkan asma, misal perubahan cuaca ekstrim, makanan, bulu kucing,
debu, dan lain-lain.
- Gunakanlah
masker jika asma ditimbulkan oleh debu
- Bagi
perawat hendaknya bisa memberikan asuhan keperawatan pada pasien asma
khususnya lansia agar bisa mencegah agar tidak kambuh lagi.
DAFTAR
PUSTAKA
Baughman, Diane C. 2000. Keperawatan Medikal
Bedah. Jakarta : EGC.
Doenges, Marilynn E. 1999. Rencana Asuhan
Keperawatan. Jakarta : EGC.
Nugroho, Wahyudi. 2000. Keperawatan Gerontik
– ed 2. Jakarta : EGC.
Samekto, Widiastuti. 2002. Asma Bronkiale.
Semarang : Badan Penerbit Universitas Diponegoro.
Subuea, Hardin, dkk. 2005. Ilmu Penyakit
Dalam, cet kedua. Jakarta : Rineka Cipta.
Stein, jay H. 1998. Panduan Klinik Penyakit
Dalam – ed. 3. Jakarta : EGC.
Surya A, Djaja. 1990. Manual Ilmu Penmyakit
Paru. Jakarta : Binarupa Aksara.
0 komentar:
Posting Komentar